Metodologi Studi Islam

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Islam adalah agama yang diwahyukan oleh Allah SWT untuk manusia melalui Nabi SAW, yang menunjukkan manusia menuju keselamatan. Islam selalu berkembang pesat dari zaman ke zaman, perkembangan itu tidak hampa dengan budaya yang dibawa di dalamnya, seperti kaligrafi, lantunan syair, dan lain sebagainya. Sampai saat ini pun masih ada budaya yang dibawa oleh Islam. Hal itu masih umum, di Indonesia, Islam pada zaman dahulu berkembang dengan budaya yang tidak sesuai dengan apa yang telah diajarkan Rasulullah SAW, seperti menyembelih kerbau ketika ada keluarga yang meninggal, selametan, dan lain sebagainya. Budaya tersebut ada yang masih bertahan dan ada juga yang sudah punah, artinya tidak dilakukan lagi oleh masyarakat pada masa kini.

Seiring berkembangnya zaman, maka berkembang pula lah ilmu pengetahuan, sehingga membuat kita yang asalnya tidak tahu menjadi tahu. Oleh karena itu, pemikiran pun harus berkembang, sebagai umat Rasulullah SAW, haruslah bersumber pada Al-Quran, As-Sunnah, dan ijtihad. Jika tidak sesuai dengan itu, maka perbuatan kita disebut bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat. Tentunya setiap umat tidak ingin sesat bukian? Melainkan ingin sekali selamat dunia dan akhirat. Dari latar belakang tersebut, penulis akan menyajikan makalah pada mata kuliah Metodologi Studi Islam yang berjudul  ISLAM DAN DUNIA KONTEMPORER.

 

 

 

 

 

1.2  Rumusan Masalah

 

Dari latar belakang tersebut, penulis dapat merumuskan masalah antara lain sebagai berikut:

  1. Bagaimana Islam dan tradisi di Indonesia sekarang?
  2. Bagaimana reaksi pemikiran Islam terhadap globalisasi?
  3. Bagaimana reaksi pemikiran tradisionalis, modernis, revivalis-fundamentalis, dan transformatif?

 

1.3  Tujuan Penulisan

 

Tujuan penulisan makalah yang berjudul ISLAM DAN DUNIA KONTEMPORER, antara lain sebagai berikut:

  1. Untuk mengetahui bagaimana Islam dan tradisi di Indonesia sekarang.
  2. Untuk mengetahui bagaimana reaksi pemikiran Islam terhadap globalisasi.
  3. Untuk mengetahui bagaimana reaksi pemikiran tradisionalis, modernis, revivalis-fundamentalis, dan transformatif.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

ISLAM DAN DUNIA KONTEMPORER

2.1  Islam dan tradisi di Indonesia sekarang

Dunia kontemporer Islam atau dunia pembaruan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern

Islam telah ada di Indonesia sejak adanya kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu di Aceh yang dikenal dengan kerajaan Samudera Pasai. Meskipun Islam telah lama kita ketahui dan anut, tetapi pengamalan agamanya masih sinkretik,yaitu masih bercampur dengan budaya lokal.     Muhammad Abduh, salah seorang pembahru dari Mesir, sebagaimana dikemukakan Harun Nasution, misalnya mengemukakan ide-ide pembaruan antara lain dengan cara menghilangkan bid’ah yang terdapat dalam ajaran Islam, kembali pada ajaran Islam yang sebenarnya, dibuka kembali pintu ijtihad, menghargai pendapat akal, dan menghilangkan sifat dualism (dalam bidang pendidikan).

Sementara itu Sayid Ahmad Khan, salah seorang tokoh pembaharu dari India, dalam Abuddin Nata (378-380) berpendapat bahwa untuk mencapai kemajuan perlu percaya bahwa hukum alam dengan wahyu yang ada dalam Al-Quran tidak bertentangan, karena keduanya berasal dari Tuhan, dan perlu dihilangkan paham taklid diganti dengan paham ijtihad.

Yang menjadi persoalan adalah apakah budaya yang dilakukan oleh para pendahulu kita sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya atau tidak, seperti budaya slametan yang berhubungan dengan kelahiran, contoh: tingkeban, brokokan, pasaran, pitonan, telonan, selapanan, dan taunan (Cliford Geerta dalam Atang dan Mubarok, 2010: 190).

Selain itu masih banyak lagi budaya yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu, yang faktanya hingga sekarang masih terdapat masyarakat Islam yang mengamalkan budaya tersebut. Meskipun zaman sudah modern,tetapi sebagian dari mereka enggan melepaskan budaya leluhur mereka. Karena mereka menganggap bahwa budaya itu harus tetap dilestarikan, meskipun banyak lembaga yang tidak sepakat dengan pengamalan budaya tersebut. Contoh: Muhammadiyah dan Persis, yang berusaha melakukan pembaruan dengan melepaskan umat dari pengaruh-pengaruh non-Islam, akan tetapi gerakan ini mendapat tantangan dari kalangan Nahdliyyin yang tetap pada pendiriannya dalam melestarikan kebudayaan leluhur mereka (Atang dan Mubarok, 2010: 191).

Padahal ketidaksepakatan Muhammadiyah dan Persis bukan semata-mata ingin menghancurkan para pelestari budaya leluhur, melainkan untuk menyempurnakan amalan Islam yang sesungguhnya, yang telah dibawa dan diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, Nabi seluruh alam. Sebenarnya Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk melakukan aqiqah, jika lahirnya anak dari pernikahan suami dan istri, dan itu pun hukumnya sunnah, dilaksanakan ketika bayi berusia tujuh hari dari kelahirannya, untuk bayi laki-laki aqiqahnya menyembelih dua ekor kambing, sedangkan untuk bayi perempuan aqiqahnya dengan menyembelih seekor saja. Tapi yang menjadi pertanyaan mengapa para pendahulu kita mengadakan budaya slametan kelahiran anak yang begitu banyak sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Padahal Nabi SAW menganjurakan hanya satu kali slametan, yaitu aqiqah. Terlihatlah bahwa Islam menganugerahkan kemudahan pada penganutnya.

Akan tetapi kebudayaan leluhur tersebut bisa dilestarikan, apabila forumnya bertujuan untuk shodaqoh dan bukan atas dasr kepercayaan pada hal-hal yang mistis, misalkan: “wah jika tidak melakukan tingkeban, brokokan, pasaran, dan pitonan nanti sang bayi akan diganggu oleh lelembut niiiih”. Yang akhirnya memaksa untuk menerapkan budaya itu meskipun keadaan ekonomi keluarga itu minimum. Padahal amalan yang terbaik ketika hamil adalah sholat, membaca dan mendengarkan lantunan ayat suci Al-Quran pun sudah cukup. Jika dikaji lebih mendalam, Al-Quran sangat berpengaruh besar dalam perkembangan janin.

Dengan adanya pertikaian amalan budaya ini, maka lahirlah dua kaum, yaitu kaum tua yang cenderung statis, tidak mau mengalami perubahan dalam suatu ajaran. Menurut Howard M. Federspiel dalam Atang dan Mubarok (2010: 192-193) kaum tua meyakini bahwa kebenaran yang dilakukan dalam ajaran-ajaran ulama besar zaman klasik dan zaman pertengahan tidak berubah, sehingga kebenarannya tidak perlu dikaji ulang, mereka menuduh bahwa orang-orang yang menentang mereka adalah orang kafir dan terkutuk, dan mereka yang tertuduh adalah kaum muda. Jadi sudah jelas bahwa kaum muda adalah kaum yang mendukung perubahan radikal dalam pemikiran dan praktik di nusantara.

2.2  Reaksi Pemikiran Islam Terhadap Globalisasi

 

Di zaman globalisasi dan modern saat ini, bangsa Indonesia belum menjadi bangsa yang maju melainkan masih berstatus bangsa berkembang, dan ternyata mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Umat Islam pada zaman dahulu mengalami kejayaan yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, bahkan mengerajai pengetahuan seluruh dunia, termasuk Amerika dan Jepang, yang amat maju di bidang tekhnologi dan ilmu pengetahuannya di zaman sekarang ini. Sungguh umat Islam sekarang sudah tidak peduli dan merasa puas dengan kejayaan yang pernah diraih oleh umat Islam terdahulu, seharusnya kita rebut kembali kejayaan iptek itu, bukan hanya menggunakan tetapi harus bisa menciptakan. Di Jepang, seorang murid SD sudah bisa merakit komputer, sedangkan kita hanya user computer saja, bahkan ada sebagian yang belum mampu mengoperasikannya.

Adanya globalisasai menyebabkan zaman semakin maju, dan pemikiran Islam pun mengalami kemajuan juga untuk mengikuti kemajuan zaman yang pada dasarnya tidak keluar dari sumber hukum Islam.

Menurut Jamal al-Din al-Afghani, orang Persia, dan Muh.Abduh, tokoh reformis dari Mesir dalam Muslim Abdurrahman (1995: 63), menganggap bahwa faktor utama keterbelakangan umat Islam menghadapi bangsa barat ialah karena sejak abad ke-9, pintu ijtihad telah ditutup oleh para ulama, inilah yang membuat terhentinya kesempatan untuk menggali Al-Quran dan Sunnah, disamping itu umat Islam lalai melestarikan beberapa bidang ilmu pengetahuan yang berguna.

 

2.2.1        Tradisionalis

 

     Pemikiran tradisionalis percaya bahwa kemunduran umat islam adalah ketentuan dan rencana tuhan. Sebagai makhluk, kita dapat  tidak mengetahui  gambaran besar tentang skenario tuhan, dari perjalanan panjang umat manusia. (Mansour Fakih dalam Ulumul Qur’an, 1997: 11)

Cara berpikir tradisionalis ini bersandar pada aliran Ahlus Sunah Wal jama’ah. Bahwa manusia harus menerima ketentuan dan rencana Tuhan yang telah dibentuk sebelumnya.

 

2.2.2        Modernis

Pemikiran modernis beranggapan bahwa keterbelakangan umat islam lebih banyak disebabkan oleh kesalahan sikap mental, budaya, atau teologi mereka. Sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan-perubahan karena paham-paham atau institusi-institusi lain dinilai tidak relevan. Pandangan ini merujuk pada pemikiran muktazilah, yaitu manusia dapat menentukan perbuatannya sendiri. Artinya asumsi dasar mereka bahwa keterbelakangan umat islam berasal dari diri mereka sendiri.

 

 

 

2.2.3        Revivalis-Fundamentalis

 

Menurut revivalis, umat islam terbelakang karena mereka menggunakan ideologi lain atau “isme” sebagai dasar pijakan daripada menggunakan Al-qur’an sebagai acuan dasar. Di samping itu, mereka juga memandang “isme” lain, seperti marxisme, kapitalisme, dan zionisme sebagai ancaman, karena bagi mereka isme merupakan salah satu agenda Barat konsep non-islami yang di paksakan pada masyarakat muslim. Mereka menolak kapitalisme dan globalisasi karena keduanya di nilai berakar pada paham liberalisme. (Mansour Fakih dalam Ulumul Quran dalam Atang dan Mubarok (2010: 197).

 

2.2.4        Transformatif

Mereka (penggagas transformatif) percaya bahwa keterbelakangan umat islam disebabkan oleh ketidakadilan sistem dan struktur ekonomi, politik, dan kultur. Agenda mereka adalah melakukan transformasi terhadap hal-hal yang mengakibatkan keterbelakangan umat islam dan melakukan perubahan-perunahan yang dapat membawa kemajuan bagi umat islam dalam berbagai bidang. Mereka lebih cenderung melakukan transformasi sosial. Menurut mereka agama islam adalah agama pembebasan bagi yang tertindas, serta mentransformasi sistem eksploitasi menjadi sistem yang adil.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

 

3.1 Simpulan

Seiring berkembangnya zaman, Islam pun turut berkembang, disebabkan adanya pemikiran Islam terhadap globalisasi, diantara pemikiran Islam yaitu: tradisionalis, modernis, revivalis-fundamentalis, dan transformatif. Yang masing-masin memiliki pemikiran dan tujuan yang berbeda. Sebagai manusia yang telah dianugerahi akal oleh sang pencipta, patutlah menjadikan akal yang selalu berfikir dan tidak kaku. Apalagi sebagai umat Islam harus pintar dan cerdas mengamalkan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar